Monday, May 16, 2011

SELAMAT HARI GURU

SEMPENA HARI GURU AKU ANAK SULU  MEMBAWAKAN SATU PETIKKAN BERKENAAN GURU YG DI COPY DARI BLOG BAHASA PONDOK SEBAGAI BAHAN BACAAN KITA SEMUA SEMOGA KITA MENDAPATI SEDIKIT ILMIAH DARINYA :- 

Dari mana datangnya "guru bangsa"? Sebelum Abdurrahman Wahid disebut-sebut sebagai "guru bangsa" belakangan ini -setelah ia meninggalkan kita- istilah ini ramai digunakan ketika partai-partai menyiapkan calon presiden dan wakil presiden menjelang pemilihan presiden 2004. Salah satu kandidat calon presiden, Nurcholish Madjid, disebut-sebut sebagai "guru bangsa", dan muncul pendapat, sayang kalau Cak Nur menjadi presiden, karena Indonesia akan kehilangan seorang "guru bangsa" yang dibutuhkan. Akhirnya Nurcholish memang mengundurkan diri, bukan karena ia ingin menjadi "guru bangsa", melainkan karena pemilihan calon presiden kala itu menurut cendekiawan ini memerlukan dana besar dan ia tak memilikinya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2001 belum mencantumkan istilah ini, baik pada lema "guru" maupun "bangsa". Yang ada "bapak bangsa", yang artinya "bapak perjuangan kemerdekaan, perintis dan pendiri negara republik". Tampaknya istilah "guru bangsa" hasil analogi "bapak bangsa". Tapi apa artinya?

Abdurrahman Wahid disebut-sebut sebagai "bapak pluralisme", bisa menerima siapa saja tanpa pandang agama, ras, partai (politik). Ia memperjuangkan dihidupkannya kembali budaya etnis Cina. Intelektual dan budayawan muslim ini juga sering mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam. Ia menganjurkan, secara langsung (lewat pidato, misalnya) maupun melalui tulisan, bahwa lebih baik melakukan kritik, perlawanan dengan humor. Sebagai presiden keempat RI, ia membubarkan Departemen Penerangan dan Bakorstanas, nama baru untuk Kopkamtib, lembaga di luar struktur yang memiliki kekuasaan hampir tak terbatas. Pada masanyalah wartawan boleh masuk istana kepresidenan tanpa jas dan dasi, cukup berbatik lengan panjang.

Sedangkan Cak Nur suka mencetuskan gagasan untuk dipertimbangkan ketika orang dihadapkan pada masalah politik dan sosial (termasuk agama). Ketika kritik terhadap partai Islam ramai terdengar karena partai lebih mencari kursi di parlemen daripada memperjuangkan platform politik, muncul pernyataannya: "Islam yes, partai Islam no!" Ketika ada kecenderungan eksklusivisme dalam Islam, ia berceramah di Taman Ismail Marzuki tentang asal-usul kata "allah". Reaksi keras terdengar dan ia diundang untuk mendiskusikan antara lain masalah tersebut di Masjid Amir Hamzah. Cak Nur hadir tepat waktu, sang lawan tidak muncul, ternyata.

Jadi apa makna "guru bangsa"? Tak mudah menarik kesimpulan dari dua paparan tersebut. Mungkin kata "guru" bisa membantu. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2001 mengartikan "guru" sebagai orang yang berprofesi mengajar. Ada juga istilah "guru lagu" dan "guru suara" yang artinya sama: "bunyi sanjak akhir tertentu di setiap baris kalimat tembang macapat", dan "guru wilangan", jumlah suku kata tertentu pada tembang macapat. Bisa disimpulkan, makna "guru" di sini adalah orang atau sesuatu yang dijadikan pedoman. Tampaknya "guru bangsa" mengacu pada makna tersebut: seseorang yang bisa dijadikan pedoman atau teladan dalam hidup berbangsa.

Menyelisik lebih jauh asal kata "guru", makna keteladanan tampaknya lebih meyakinkan lagi. Kata ini datang dari bahasa Sanskerta, yang maknanya sangat mulia: orang yang dihormati karena memiliki pengetahuan luas, kebijaksanaan, dan otoritas dalam bidang tertentu, dan menggunakan yang dimiliki itu untuk menuntun orang lain. Menurut Wikipedia, akar kata guru adalah gu = kegelapan, dan ru = yang menghancurkan (kegelapan itu). Jadi, kurang lebih, guru adalah mereka yang memiliki kemampuan mengusir kegelapan dan menggantinya dengan kecerahan. Konotasi kegelapan dan kecerahan di sini rasanya lebih berkaitan dengan yang spiritual, bukan yang fisik.

Alhasil, makna "guru" memanglah sangat mulia. Guru bangsa tentunya tak terlepas dari makna yang mulia tersebut. Karena itu saya kira "guru bangsa" lebih sulit dikriteriakan daripada "bapak bangsa" yang lebih "terlihat": pejuang, perintis, pendiri negara republik. Bahkan dari negeri asal bahasa Sanskerta, tokoh yang begitu berwibawa bagi bangsa India, yang menggentarkan parlemen Inggris hanya dengan jubah dan terompahnya, yang melawan dengan berpuasa -Gandhi- pun tak diangkat sebagai "guru", melainkan "mahatma", sang jiwa besar. Kecuali kita hendak mereduksi makna "guru" menjadi seperti dalam ensiklopedia bahasa Inggris: guru adalah spiritual leader, religious teacher, maharishi, sage, spiritual guide, counse-lor. Tapi ini berarti banyak orang bisa disebut sebagai "guru". Tampaknya kita perlu pelit dalam memberikan sebutan. Atau, sebutan itu akan tanpa makna.

(Sumber: Bujono, Bambang. “Guru Bangsa.” Bahasa. TEMPO online. 15 Februari 2010)

No comments:

Post a Comment